Siang itu hari pertama bulan Mei. Aimee Copeland tengah menikmati libur
musim panas. Bersama sejumlah kawan. Mereka menjajal flying fox buatan
sendiri. Meluncur memacu andrenalin melewati sungai Little Tallapoosa.
Hari itu mereka gembira ria.
Tapi petaka datang lewat penopang tubuh. Aimee lepas kendali, lalu
terlempar ke tepian sungai. Luka menganga di betis kiri. Kawan-kawannya
mengotong dia ke unit gawat darurat di rumah sakit terdekat. Liburan
tahun 2012 ini berujung suram. Dia menerima 22 jahitan guna menghentikan
rembesan darah. Sesudah itu dia pulang ke rumah.
Sehari berselang. Mahasiswi program master di West Georgia University
itu ditimpa sakit luar biasa di sekitar area jahitan. Dia terpaksa masuk
lagi ke unit gawat darurat dan pulang mengantongi obat pereda sakit
Motrin dan Tylenol.
Tapi dua obat itu sama sekali tidak mempan. Bukannya mengering, luka
malah kian membesar. Area sekitar luka membengkak dengan ruam-ruam yang
perih. Bersama rasa sakit tak terperikan itu, ia masuk lagi ke unit
gawat darurat. Ini yang ketiga.
Dokter yang memeriksa terkejut melihat luka yang kian membesar itu. Sang
dokter lalu memintanya melakukan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Ini
scanning untuk melihat efek luka terhadap jaringan tubuh, organ, dan
juga tulang.
Masuk hari keempat. Luka itu semakin menyiksa. Tubuh gadis 24 tahun ini lunglai membaca hasil diagnosis. Mengarah pada infeksi bakteri
pemakan daging. Bahasa medisnya necrotizing fasciitis. Dan si bakteri
itu ganas merangsek. Menyusup masuk ke pori-pori daging lalu melumatnya.
Nyawa Aimee terancam. Maut itu sudah menyusup masuk sampai ke paha dan
pinggul. Daging di paha rusak digerogot bakteri itu. Dokter sekuat
tenaga membantu. Upaya darurat yang bisa dilakukan adalah mengangkat
semua jaringan luka. Tapi tak mampu menghentikan laju sang bakteri.
Dokter di situ menyerah. Lalu menerbangkan Aimee ke JMS Burn Center
Augusta, sebuah rumah sakit yang memiliki unit perawatan infeksi paling
canggih di Georgia.
Gadis itu seperti bertarung dengan banyak musuh. Mengejar waktu dan
menahan laju rangsek si bakteri ke organ tubuh penting. Jika sampai
paru-paru atau jantung, selesailah sudah. Sampai di Agusta, Aimee
kritis. Nafas satu-dua.
Keganasan bakteri telah membunuh sejumlah jaringan tubuhnya. Para dokter
di situ berkutat dengan bakteri itu. Membawa sampelnya ke laboratorium
lalu melakukan analisa. Tidak ada jalan lain. Bakteri rakus ini
menggiring para dokter itu ke satu sudut: amputasi.
Kaki kiri Aimee harus dipotong hingga batas pangkal paha. Bukan itu
saja. Sedikit jaringan diperut harus dibuang, sebab bakteri sudah
membajak di situ. Keluarga menunggu cemas di luar ruangan operasi.
"Operasi itu berjalan lancar, tapi dokter mengatakan harapan hidup Aimee
sangat tipis. Hanya doa yang bisa menyelamatkannya," kata sang ayah,
Andy Copeland, dalam blognya aimeecopeland.com.
Kekuatan doa dan upaya para dokter itu tidak sia-sia. Aimee mampu melewati fase kritis pertama.
Kesadarannya perlahan pulih. Meski belum bisa bergerak dan bersuara, dia
sudah bisa tersenyum. Sudah bisa berkomunikasi dengan mengerakkan
bibir.
Dua pekan semenjak amputasi itu, kondisi Aimee belum juga stabil. Jemari
tangan dan kaki kanan Aimee mulai memperlihatkan ruam yang sangat
buruk. Menandakan tak ada aliran darah di sana. Potensi infeksi semakin
nyata di area tersebut.
Andy pasrah ketika dokter kembali merekomendasikan amputasi. "Lakukan
apa saja untuk memberi kesempatan terbaik yang bisa menyelamatkan hidup
Aimee," kata ayah dua putri itu. Dan bukan cuma Aimee yang berjuang tapi
juga kakak dan ayah-ibunya.
Sang ayah berjuang menata emosi, menahan air mata dan rasa perih
ketika menyampaikan kabar buruk kepada putri bungsunya itu soal amputasi
kedua. Bersama istrinya, Donna Copeland, dan putri sulungnya, Paige
Copeland, Andy segera mengunjungi kamar Aimee sesudah mendengar
rekomendasi dokter.
Sang ayah membuka obrolan dengan bercanda. Canda dan saling menguatkan
sekitar 30 menit. Lalu sang ayah menggenggam tangan Aimee. Mendekatkan
ke wajahnya. Lalu berkata, "Aimee, tangan ini tidak sehat, dan bisa
menghambat penyembuhan." Suasana kamar itu senyap. Berdebar mereka
menunggu jawaban si bungsu.
Aimee mengangguk.
"Aimee, aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu. Pikiranmu masih sangat
sehat, jantungmu baik dan semangatmu menyala. Dokter ingin mengamputasi
tangan dan kakimu hari ini untuk memastikan kesempatan terbaik bertahan
hidup," kata sang ayah dengan suara tercekat.
Aimee mengangguk lagi.
Sang kakak ikut memompa semangat. Dia bercerita tentang tangan dan kaki
palsu yang memungkinkan pasien amputasi bisa beraktivitas normal.
Mendengar cerita itu Aimee tersenyum. Sejenak dia menatap keluarganya.
Lalu sembari senyum menjawab pelan, "Segera lakukan!" Ruang rawat itu
tersapu haru.
Melangkah keluar dari situ, sang ayah tak lagi bisa menahan lelehan air
mata. Menangis bukan saja karena putrinya akan kehilangan tangan dan
kaki. Tapi juga menangis karena selama 53 tahun dalam hidupnya belum
pernah melihat ketegaran sebesar itu. Dan itu putri kandungnya sendiri.
Yang amat disayangi.
Asal Mulanya Luka Sepele
Necrotizing fasciitis. Bakteri ganas itu bukan hanya menenggelamkan
Aimee Copeland ke titik nadir, tapi juga sejumlah warga di Georgia.
Ketika Aimee berjuang mempertahankan nafas, di tempat lain tiga warga
Georgia Paul Bales, Bobby Vaughn, dan Lana Kuykendall bertahan hidup
dengan alat bantu pernafasan.
Dan semuanya bermula dari luka sepele.
Hari pertama bulan Mei, Paul Bales mengalami luka di kaki saat tengah
membangun dermaga di danau Sinclair, dekat Milledgeville, Georgia. Tak
merasa ada yang kritis, kakek 67 tahun itu hanya membalut lukanya dengan
perban. Sesudah itu seperti hari yang sudah-sudah. Aktivitas seperti
biasa. Dan pergi main golf.
Petaka itu mulai dirasakan hari keempat. “Luka itu tiba-tiba membengkak
empat hari kemudian," kata Mike Bales, anak laki-laki Paul. Di usia
senjanya kakek Paul terpaksa kehilangan kaki kiri.
Bobby Vaughn mungkin lebih beruntung. Meski tim bedah harus mengangkat
jaringan mati di pangkal paha seberat hampir satu kilogram, serangan
bakteri pemakan daging itu tak sampai membuat anggota tubuhnya
diamputasi. Bakteri ganas itu menyusup ke tubuh pria 33 tahun lewat luka
kecil di paha. Tergores mesin pemotong rumput di Cartersville, Georgia.
Lain lagi cerita Lana Kuykendall. Wanita 36 tahun itu baru saja bersuka
cita. Melahirkan bayi kembar. Tapi beberapa jam setelah meninggalkan
sebuah rumah sakit bersalin di Atlanta, Georgia, dia menyadari ada
kenyerian dalam memar kecil di kakinya.
Memar itu membesar cepat. Bertambah lebar dalam hitungan jam. Si memar
kecil yang kian meraksasa itu memaksanya kembali ke rumah sakit.
Melewati tujuh kali operasi, kondisinya kini masih kritis.
Empat kasus dalam waktu hampir bersamaan itu sontak membuat panik warga
Georgia. Mereka takut dengan wabah bakteri pemakan daging manusia.
Orang-orang lalu menghindari lokasi di mana para korban terinfeksi.
Bukan hanya warga Georgia, penyakit ini kemudian membetot perhatian
warga Amerika Serikat, pemerintah dan para ahli bakteri dari seluruh
dunia. Sepanjang pekan lalu, para ahli kesehatan di negeri Barrack Obama
itu sibuk menelisik bakteri ganas ini. Dan berusaha keras meredam
penyebaran.
Dan ternyata bakteri itu sudah pernah mengamuk di masa lalu. Bukan hanya
di Amerika Serikat. Menyebar di Kanada hingga Belanda di Benua Eropa.
Korbannya juga sudah banyak Sejumlah tokoh dunia bahkan pernah dimangsa.
Tahun 1994, Perdana Menteri Quebec, Kanada, Lucien Bouchard, kakinya
digerogoti bakteri ini. Kaki sang perdana menteri itu terpaksa
diamputasi. Kasusnya disebut sebagai yang pertama terekam media.
Mantan Perdana Menteri Belanda, Peter Balkenende, juga digerogoti
bakteri serupa pada 2004. Beruntung, penanganan cepat menyembuhkannya,
tanpa harus masuk kamar operasi. Tanpa harus amputasi.
Pada 2005, necrotizin fasciitis bahkan merenggut nyawa Alexandru Marin,
profesor peneliti di MIT Boston University dan Harvard University.
Setahun kemudian, David Walton, seorang pakar ekonomi asal Inggris juga
kehilangan nyawa, hanya dalam tempo 24 jam setelah tubuhnya diketahui
digerogoti bakteri ganas itu.
Langka dan Membunuh
Necrotizin fasciitis merupakan infeksi bakteri. Biasa menyerang lewat
luka atau goresan di kulit. Si bakteri itu tidak hanya merusak sel-sel
kulit, otot, serta lapisan lemak, tapi berpotensi mematikan jaringan
tubuh.
Gejala awal tak terlalu menyolok. Kulit membengkak, ruam atau memar.
Berkeringat, badan menggigil, demam, dan mual. Namun, dalam hitungan
hari, bahkan jam, penyakit ini bisa memicu kegagalan fungsi organ. Dari
situlah kematian bisa menjemput.
Menurut WebMD, necrotizin fasciitis tergolong penyakit langka yang
sangat ganas. Meski hampir semua korban segar bugar, sehat walafiat
sebelum terinfeksi, tapi sekitar 25 persen di antaranya kehilangan nyawa
dalam waktu yang sangat singkat.
Ada beragam bakteri yang memicu infeksi ini. Salah satunya Aeromonas
hydrophila. Si Aeromonas itulah yang terdeteksi di tubuh Aimee. Meski
hidup di lingkungan bebas, bakteri ini tak otomatis bisa menulari orang
sekeliling. Kasus yang terjadi masih langka.
Dr. William Schaffner, Kepala Departemen Pencegahan Penyakit di
Vanderbilt University Medical Center, mengatakan, jumlahnya yang terdata
sekitar 250 kasus di seluruh Amerika Serikat.
Dari kasus yang terdata, 70 persen korban umumnya memiliki salah kondisi
berikut: luka terbuka, daya tahan tubuh lemah, dan gangguan sistem
kesehatan kronis seperti diabetes, kanker, gangguan liver, dan penyakit
ginjal.
Dr Buddy Creech, asisten profesor penyakit menular pediatrik di
Vanderbilt University, mengingatkan bahwa bakteri ini bersifat virulen.
Memiliki kemampuan luar biasa menghancurkan jaringan di sekelilingnya.
"Saat masuk ke jaringan dalam, kerusakan biasanya akan sangat sulit
dikendalikan."
Lantaran susah ditaklukkan, penangganan cepat sangat menentukan selamat
tidaknya korban. Selain pemberian obat antibiotik dosis tinggi, operasi
pengangkatan jaringan terinfeksi biasanya menjadi pilihan. Menghindari
penyebaran. Amputasi juga harus segera dilakukan jika bakteri menyebar
melalui tangan dan kaki.
"Semakin cepat penanganan, semakin besar kemungkinan Anda sembuh dan
terhindar komplikasi serius, seperti amputasi anggota tubuh atau
kematian," kata Creech.
Aimee mungkin terlambat ditangani. Bolak-balik ke ruang gawat darurat,
luka itu dianggap biasa. Bahkan oleh para dokter yang merawat. Gadis
cantik ini harus kehilangan seluruh kaki kiri. Pergelangan kaki kanan.
Dua pergelangan tangan, dan sebagian jaringan di perut.
Selain kerja keras para dokter di ruang operasi, ketegaran membuat
semangat hidupnya terus menggelora. Kini dia perlahan pulih. Sudah bisa
duduk. Bicara. Bahkan bercanda dengan gelak tawa.
0 komentar:
Posting Komentar
Ayo Berkomentarlah Dan Saling Sharing Dengan Pengunjung WebUnik Lainnya.... Jangan Komentar Yang Mengandung SARA Yah Gan!!
[ Mohon maaf jika komentar anda tidak di balas karna ada banyak komentar yang masuk.. silahkan jika ada pertanyaan,kritik maupun saran kirim ke e-mail : webunik27@gmail.com ]