Siapa tak terpesona menatap keindahan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah?
Dibangun pada masa Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra pada tahun
824, Borobudur terdiri dari 1460 panel relief dan 504 stupa. Namun,
panel yang selama ini terlihat ternyata belum lengkap. Ada panel-panel
yang sengaja ditimbun tanah karena reliefnya dianggap vulgar dan cabul.
Panel-panel itu terletak di bagian paling bawah, yang disebut Kamadhatu.
Bagian fondasi tersembunyi itu terdiri dari 160 relief adegan Sutra Karmawibhangga atau hukum
sebab-akibat. Panel-panel itu menggambarkan perbuatan yang mengikuti
hawa nafsu manusia, semisal: bergosip, membunuh, menyiksa dan memerkosa.
Juga ada adegan-adegan seks dalam berbagai posisi.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia, Edi Sedyawati
mengemukakan, relief Karmawibhangga itu menggambarkan kehidupan
masyarakat saat candi itu dibangun.
Ada sejumlah pendapat mengapa relief ini ditimbun. Bisa jadi karena
kurang pantas dipertontonkan ke publik, tapi ada pula yang menduga
penutupan ini semata-mata demi kestabilan posisi candi — agar tidak
amblas.
Terlepas dari perdebatan itu, keseluruhan relief di Borobudur
mencerminkan ajaran Budha Mahayana: semakin ke atas semakin mencapai
kesempurnaan. Bagian paling bawah atau Kamadhatu menggambarkan perilaku
penuh angkara murka dan hawa nafsu yang menyebabkan seseorang masuk
neraka jahanam.
Bagian tengah (terdiri dari empat tingkat) dinamakan Rapadhatu, tempat
manusia dibebaskan dari nafsu dan hal-hal duniawi. Sedangkan bagian
teratas — termasuk tiga teras melingkar yang mengarah ke pusat
kubah—disebut Arupadhatu, tempat para dewa bersemayam atau nirwana.
Keberadaan Borobudur sesungguhnya telah diketahui penduduk lokal di abad
ke-18. Sempat tertimbun material Gunung Merapi, candi ini lalu
ditemukan kembali oleh Sir Stanford Raffles pada 1814. Selanjutnya, pada
1885, arkeolog JW Yzerman mendokumentasi dan merekam reliefnya. Saat
itulah, timnya menemukan relief tersembunyi di bagian paling bawah.
Sekitar tahun 1890-1891, bagian yang tertutup itu dibuka seluruhnya oleh
fotografer Kasiyan Chepas untuk dipotret satu per satu. Batu bervolume
13000 meter kubik ini diangkat, lalu dikembalikan lagi ke posisi semula.
Hingga hari ini, bagian itu ditimbun tanah sehingga tak seorangpun bisa
melihat. Ada tiga panel di bagian tenggara candi yang terbuka--diduga
karena proses penutupan kembali yang tak sempurna.
Hasil bidikan Chepas kemudian dibukukan pada 1931. Buku aslinya kini ada
di Museum Nasional, Jakarta. Sedangkan klise asli disimpan di Museum
Tropen, Amsterdam karena statusnya milik Pemerintah Belanda. Pemerintah
Indonesia memiliki replika seluruh foto itu.
0 komentar:
Posting Komentar
Ayo Berkomentarlah Dan Saling Sharing Dengan Pengunjung WebUnik Lainnya.... Jangan Komentar Yang Mengandung SARA Yah Gan!!
[ Mohon maaf jika komentar anda tidak di balas karna ada banyak komentar yang masuk.. silahkan jika ada pertanyaan,kritik maupun saran kirim ke e-mail : webunik27@gmail.com ]